Pada zaman Orde Baru kesempatan menyampaikan pendapat, apalagi pendapat yang berbeda dengan atasan atau penguasa, amat sempit. Mengapa? Penyair kondang Taufiq Ismail mencoba menjawabnya, ”Yang berbeda pendapat menjadi musuh sampai akhir abad. Apalagi, oposisi seteru sampai mati.” Beruntunglah, zaman itu sudah lewat. Sekarang orang bebas menyampaikan pendapat yang berbeda dengan orang lain, bahkan berbeda dengan atasan atau penguasa tanpa merasa takut lagi. Salah satu cara mengungkapkan beda pendapat itu adalah dengan berdebat.
Kegiatan debat sekarang makin semarak. Masyarakat kita bukan hanya gemar menonton acara debat, tetapi juga suka berdebat. Di mana-mana ada debat, mulai dari kampus perguruan tinggi, studio televisi, sampai kantor Pak Menteri. Bahkan juga di rumah dan di sekolah. Aneka lomba debat pun diselenggarakan, mulai tingkat kabupaten sampai tingkat nasional. Bahkan ada lomba depat internasional. Ibaratnya, tiada hari tanpa debat. Dunia tak pernah sepi dari kegiatan debat.
Mengapa debat sering dilakukan? Mungkin sekali mereka sudah menyadari bahwa debat banyak manfaatnya. Melalui kegiatan debat orang bisa bebas menyampaikan pendapat meskipun berbeda dengan pendapat orang lain. Alasan, bukti, dan contoh “ditumpahkan” untuk meyakinkan lawan debatnya bahwa pendapatnya paling baik dan paling kuat argumetasinya sehingga paling layak diterima. Sementara itu, pihak lawan juga melakukan hal yang sama. Dengan demikian peserta debat menjadi terbiasa berpikir kritis, logis, dan terbuka untuk menerima pendapat orang lain yang memang lebih kuat argumentasinya.
Akan tetapi, banyak pula peserta debat yang belum memahami tujuan debat. Mereka biasanya suka memaksakan kehendak. Dikiranya, pendapatnya pasti benar dan pendapat orang lain pasti salah. Apa pun, termasuk memaksakan kehendak, dilakukan asal menang. Jika lawan debatnya juga melakukan hal yang sama, tak terelakkan, pertengkaran pasti terjadi. Padahal, kemenangan dalam debat seharusnya tidak diraih melalui pertengkaran. Kemenangan tidak ditentukan oleh kerasnya suara, bukan oleh banyaknya pendukung, dan bukan pula oleh kuatnya otot. Kemenangan harus diperoleh melalui kekuatan argumentasi.
Argumentasi itu apa? Argumentasi adalah keahlian untuk meyakinkan dan mempengaruhi orang lain agar mau menerima pendapatnya. Caranya, pembicara berusaha menyusun dan menampilkan bermacam-macam fakta, menghubung-hubungkannya, dan menarik kesimpulan. Kalau fakta-fakta itu benar dan cara menghubung-hubungkannya juga benar, maka kesimpulannya sulit ditolak lawan. Sebaliknya, kalau fakta-fakta yang ditampilkan itu tidak benar, apalagi cara menghubung-hubungkannya juga tidak benar, kesimpulannya tentu akan diaggap ”sampah”.
Berdebat adalah kegiatan berpikir, yaitu berpikir bersama-sama untuk menentukan usulan mana yang paling layak diterima. Peserta debat yang usulnya diterima lawan, berarti menang. Tetapi, hal itu tidak mudah dilakukan karena lawan juga mempunyai usul yang diperjuangkannya. Di arena debat itu mereka berusaha saling meyakinkan bahwa usulannya paling baik, paling kuat argumentasinya, dan paling layak diterima. Dalam upaya meyakinkan itulah sering terjadi mereka bersitegang urat leher. Akan tetapi, ketegangan itu seharusnya hanya berlangsung di ruang debat. Setelah berdebat, mereka tetap bersahabat, tetap bersaudara.
Peserta debat memang harus berusaha meyakinkan lawan. Upaya meyakinkan orang lain termasuk dalam kegiatan komunikasi. Nah, dalam kegiatan komunikasi, khususnya dalam meyakinkan orang lain itu ada faktor-faktor yang perlu diketahui dan dimiliki peserta debat.
Sedikitnya peserta debat harus mengetahui dan memiliki ethos, pathos, dan logos. Yang dimaksud ethos adalah hal-hal yang dimiliki oleh seorang pembicara sehingga dia dapat menjadi sumber kepercayaan bagi pendengarnya. Kepercayaan tersebut akan timbul berdasarkan karakter yang dimiliki pembicara, antara lain berupa kewibawaan dan keluasan pengetahuan tentang masalah yang diperdebatkan. Pathos merupakan kemampuan pembicara untuk menyampaikan imbauan emosional yang dapat menyentuh perasaan pendengar. Misalnya, melalui pilihan kata dan susunan kalimat yang tepat, intonasi yang sesuai, sikap berbicara, dan sopan santun. Selanjutnya, logos adalah kemampuan berbicara untuk menyampaikan imbauan logis (bernalar) berdasarkan hasil pemikiran yang teratur, masuk akal, dan mantap. Dengan cara demikian jalan pikirannya dapat dicerna, diikuti, dan dipahami pendengar.
Demikianlah, dalam melakukan kegiatan debat, peserta debat harus menyadari bahwa berdebat bukan bertengkar, melainkan kegiatan berpikir bersama. Yang dicari dalam debat adalah kemenangan. Akan tetapi, kemenangan itu tidak diperoleh lewat “kekerasan”, melainkan lewat kekuatan argumenasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar