26 September, 2008

Daya Pikat Pidato

oleh : asul wiyanto

Untuk mempengaruhi pendengar, dalam berpidato kita harus berupaya agar pendengar tertarik, terpikat, dan terpesona. Salah satu cara yang amat mudah kita lakukan yaitu tersenyum. Meskipun hanya senyum, pengaruhnya luar biasa. Senyum itu menyebabkan wajah kita berseri-seri, ceria, dan menyenangkan. Dengan senyum yang tulus itu kita bermaksud menerima kehadiran pendengar dengan senang hati, hangat, dan bersahabat. Sikap yang kita tunjukkan itu akan menular kepada pendengar sehingga pendengar pun akan merasa senang menerima kita. Bila kita memperhatikan para pendengar, mereka pun akan memperhatikan kita. Sebaliknya, jika kita bersikap kaku dan wajah tegang seperti sedang marah, pendengar langsung bersiap-siap menolak kita. Bila kita menghina (dalam hati) para pendengar, mereka pun akan kembali menghina kita. Jika kita bersikap kurang percaya diri dan ragu-ragu, mereka pun tak akan percaya kepada diri kita.

Upaya mempengaruhi pendengar memang tidak mudah. Akan tetapi, kita dapat menggunakan jurus daya pikat pidato, yaitu berusaha menimbulkan kesan yang baik, berusaha menarik perhatian pendengar, berusaha meyakinkan, dan akhirnya berusaha mempengaruhi. Secara nyata, jurus daya pikat untuk mempengaruhi pendengar dalam pidato itu sebagai berikut.

1. Sikap Sungguh-sungguh
Dalam berpidato kita harus menunjukkan sikap sungguh-sungguh. Sikap sungguh-sungguh ini mudah menular kepada pendengar. Jika kita bersikap ragu-ragu, pendengar akan menerima dengan ragu-ragu pula. Sebaliknya, bila kita tampak sungguh-sungguh, dan memang kita sedang bersungguh-sungguh, pendengar akan menerima dengan mantap. Paling tidak, pendengar tidak menjadi ragu-ragu. Karena itu, dalam berpidato kita harus menyampaikan isi pidato degan sungguh-sungguh sehingga semua kata yang kita ucapkan berbobot dan mempunyai tenaga. Tenaga yang ditimbulkan oleh kesungguh-sungguhan itu dapat menembus dada, menyentuh perasaan pendengar.

1. Menguasai Bahan Pidato
Sebaiknya bahan pidato yang kita kuasai itu jauh lebih banyak daripada yang kita sampaikan. Untuk apa? Untuk cadangan bila ada sebagian yang lupa dan sekali gus untuk menyesuaikan dengan situasi dan reaksi pendengar yang kita hadapi. Bila cadangan kita terbatas, pidato kita tampak kering dan kurang variasi. Sebaliknya, bila cadangan kita melimpah, kita dapat mengolah sesuai dengan kebutuhan.

Sebagai perbandingan, kita simak kisah berikut ini. Seorang dokter bedah berkata kepada orangtua pasien yang akan dioperasi amandelnya, “Pak jangan terlalu cemas. Operasi amandel ini tergolong ringan. Saya bisa mengajari Bapak hanya satu minggu agar dapat mengoperasi amandel. Tetapi, Pak, bila terjadi kesalahan dalam operasi itu, saya harus mengajari cara mengatasinya selama sepuluh tahun.” Kisah tersebut bila kita hubungkan dengan berpidato, ada persamaannya. Untuk mempersiapkan pidato yang lamanya sepuluh menit, barangkali kita cukup mempersiapkannya dalam waktu beberapa jam. Akan tetapi, supaya pidato itu benar-benar tepat, dapat sesuai dengan situasi dan reaksi pendengar, kita perlu mempersiapkan berhari-hari. Idealnya, bahan yang kita kuasai itu sepuluh kali lebih banyak daripada yang kita sampaikan.

2. Menyampaikan Fakta
Bukan sembarang fakta yang kita sampaikan, melainkan fakta yang sungguh-sungguh ada atau benar-benar terjadi. Kita harus berusaha menyusun dan menampilkan bermacam-macam fakta untuk menunjukkan bahwa suatu pendapat atau tindakan benar atau salah. Kita harus menunjukkan fakta-fakta yang benar kemudian menghubung-hubungkan fakta itu untuk memperoleh kesimpulan. Bila fakta-fakta itu memang benar dan cara menghubung-hubungkannya juga benar, pendengar sulit menolaknya. Sebaliknya, bila fakta-fakta itu tidak benar, apalagi cara menghubung-hubungkannya juga tidak benar, dengan spontaan massa akan menolak keras.

3. Mengusahakan Jawaban “Ya”
Kita menggunakan serangkaian pertanyaan yang menggiring massa agar menjawab “Ya”. Pertanyaan bertahap mulai dari yang nyata-nyata harus dijawab “Ya’ sampai hal yang meragukan. Rumusan pertanyaan harus kita atur sebaik-baiknya sehingga massa hanya dapat menjawab “Ya”, dan perlahan-lahan menuntunnya kepada kesimpulan akhir. Persetujuan yang dinyatakan dengan jawaban “Ya” itu bukan hanya persetujuan secara rasional, melainkan juga secara emosional. Nah, karena sudah beberapa kali massa menjawaab “Ya” itulah akhirnya massa tidak dapat mengelak untuk tidak menjawab “Ya”.

4. Mengulang-ulang
Tetesan air melubangi batu bukan karena kekuatannya, melainkan karena keseringannya (berulang-ulang menetes). Prinsip ini dipakai dalam dunia periklanan. Iklan apa saja, baik di media cetak maupun elektronik, selalu tampil berulang-ulang untuk menarik perhatian dan minat khalayak.
Dalam berpidato kita dapat juga menyampaikan pendapat secara terus-menerus dengan cara yang berbeda-beda dan rumusan yang berbeda-beda pula. Yang perlu kita perhatikan adalah pendapat yang kita ulang-ulang itu harus pendapat yang positif dan benar. Dengan cara mengulang-ulang pendapat, massa menjadi menaruh perhatian, berusaha mengolah pendapat itu, dan akhirnya menjadi tertarik untuk menyetujuinya. Namun, harus kita ingat bahwa cara mengulanag-ulang ini tidak boleh kita gunakan untuk menyampaikan hal yang palsu atau yang tidak benar, karena akan membuat massa tidak percaya kepada kita.

5. Menciptakan Kebersamaan
Kita berusaha menumbuhkan dan mengembangkan rasa kebersamaan untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan kita semua. Untuk itu, kita perlu mengetahui minat dan keinginan massa. Kemudian, menempatkan diri kita seolah-olah bersama-sama massa dan mempunyai minat yang sama dengan massa. . Bila kita tahu keinginan massa dan terampil mengolahnya, kita dapat meyakinkan dan mempengaruhi massa untuk melakukan sesuatu seperti yang kita inginkan.

6. Menggunakan Contoh
Sebaiknya kita tidak pelit memberi contoh dalam berpidato. Sebab, contoh dapat mengubah hal yang abstrak menjadi nyata. Coba kita perhatikan contoh kalimat berikut. “Buku Cara Berpidato amat disukai orang.” Pernyataan ini akan lebih mengesankan bila kita sampaikan langsung dengan contoh. Misalnya, “Di Yogyakarta, buku Cara Berpidato terjual tiga ribu eksemplar selama satu bulan, di Semarang, dua ribu, dan di Jakarta lima ribu.”

7. Mengutip Pendapat Tokoh
Kita dapat mengutip pendapat tokoh terkenal untuk mempengaruhi massa pendengar. Tokoh yang kita kutip pendapatnya itu bisa politikus, ekonom, negarawan, agamawan, olahragawan, artis, dan lain-lain. Lebih baik lagi bila tokoh itu menjadi idola sebagian besar pendengar. Sebab, setiap orang sebenarnya ingin seperti tokoh yang diidolakan. Yang kita kemukakan bukan hanya pendapatnya, melainkan juga tindakan yang dilakukannya yang sesuai dengan isi pidato kita.

8. Kebanggaan dan Kesenangan
Setiap orang memerlukan uang. Akan tetapi, banyak pula orang yang punya keinginan melebihi keinginannya medapatkan uang. Keinginan apa? Keinginan untuk dikagumi, atau setidak-tidaknya mendapat kesan yang baik. Seorang wanita rela, mengeluarkan banyak uang untuk membeli berbagai alat kosmestik, merawat rambut, merias wajah, dan pakaian indah, serta perhiasan mahal. Bahkan, juga rela “menyiksa” diri dengan tidak makan makanan yang disukainya. Semuanya itu untuk memuaskan keingainannya, yaitu agar berpenampilan baik dan mengesankan. Kalau bisa, dikagumi dan dihormati orang lain.
Semua orang juga ingin enak dan senang. Kita suka minum kopi, makan kue ambon, ingin bepergian, kalau dapat ke luar negeri. Kita ingin tidur ditempat tidur, tidak di lantai. Semuanya itu kita lakukan karena memang menyenangkan kita. Berkaitan dengan itu, kita harus dapat menemukan kebanggaan pendengar dan mengetahui kesenangan pendengar. Kemudian, menghubung-hubungkan isi pidato kita dengaan kebanggaan dan kesenangan pendengar. Jika kita mampu membungkus isi pidato kita dengan kebanggaan dan kesenangan pendengar, meraka mudah kita pengaruhi.

9. Ketulusan
Kita harus percaya sepenuh hati bahwa apa yang kita katakan itu baik dan benar sehinga kita dapat mengatakannya dengan tulus. Bila kita tidak percaya sepenuh hati, kita akan tampak ragu-ragu. Bagaimana mungkin kita bisa meyakinkan orang lain kalau kita sendiri tampak ragu-ragu? Yang pasti terjadi, bila kita menyampaikan isi pidato dengan ragu-ragu, pendengar akan menerima dengan ragu-ragu pula. Karena itu, kita harus yakin seyakin-yakinnya bahwa apa yang kita katakan itu benar dan baik. Keyakinan akan kebenaraan itu akan terpancar dalam ucapan yang tulus. Bila kita mengucapkan kata-kata dengan tulus, pendengar akan menerima dengan tulus pula. Kata-kata yang tulus adalah kata-kata yang keluar berdasarkan dorongan dari dalam, dari lubuk hati yang paling dalam. Kata-kata yang demikianlah yang bertenaga sehinga mempunyai kekuatan untuk menembus hati masing-masing pendengar kita.

Demikian antara lain cara meyakinkan dan mempengaruhi massa. Satu hal yang harus kita ingat, yaitu dalam berpidato kita harus memandang hadirin bukan hanya dengan mata kepala, melainkan juga harus dengan mata hati. Artinya, kita harus tanggap atau paham terhadap reaksi yang timbul dari hadirin. Bila perhatian hadirin melenceng kita harus berusaha mengembalikannya dengan menyampaikan hal-hal yang dapat menarik perhatian. Bila pendengar sudah tertarik, kita lanjutkan lagi ke masalah yang sedang kita sampaikan. Bila sebagian pendengar pulang secara sendiri-sendiri atau dalam kelompok-kelompok kecil, kita harus mempersingkat pidato kita. Demikian pua bila pendengar tampak lelah, lapar, mengantuk, atau gelisah, kita harus segera mengakhiri pidato dengan penutup yang jitu.

Tidak ada komentar: